Category Archives: ’bout Culture

Lunturnya Nilai Budaya dalam Masyarakat

            Untuk mengetahui isu-isu strategis, diperlukan fakta dan berbagai informasi dalam menentukan dan menganalisis isu-isu tersebut. Isu-isu strategis merupakan bagian penting proses perencanaan pembangunan daerah. Sebuah kondisi yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan suatu daerah, yang dampaknya akan signifikan bagi masyarakat atau daerah tersebut di masa depan. Isu strategis mempunyai beberapa karakteristik yang bisa diuraikan, seperti bersifat penting, mendasar, mendesak, berjangka panjang, bersifat kelembagaan dan menentukan tujuan-tujuan di masa depan. Visi, misi dan program kerja Kepala Daerah yang terpilih juga merupakan faktor penting dalam rencana pembangunan daerah, sumber lingkungan, skala regional, nasional dan internasional pun perlu diperhatikan dalam pembangunan daerah jangka menengah.

Pandangan tentang budaya yang membuka ruang bagi kesadaran manusia untuk menciptakan nilai-nilai budaya, saat ini memang tidak memadai lagi. Unit budaya yang keras dan eksklusif menjadi lapuk serta mengalami berbagai tantangan global yang membuat kita mengkaji ulang pola dasar berfikir dan bersikap mengenai budaya. Budaya merupakan bagian dari modernitas yang mengguncangkan nilai-nilai budaya yang ada dalam kelompok masyarakat, dengan jangka waktu singkat maupun berkelanjutan.

Lunturnya nilai budaya dalam masyarakat, pemerintah daerah akan cenderung mengabaikan isu tersebut. Padahal, dengan hilangnya nilai tersebut, dampak yang ditimbulkan akan berkelanjutan dan mungkin tidak akan bisa diatasi. Karena Indonesia merupakan negara plural, keberagaman akan agama, ras, suku dan adat yang ada dalam masyarakat juga tidak boleh diabaikan dalam pembangunan daerah. Tapi jika ditinjau dari segi waktu, maka isu perekonomian, ketenagakerjaan, peningkatan infrastruktur atau isu-isu lain yang lebih mendesak dan harus diprioritaskan dalam pembangunan daerah.

Sistem perekonomian Indonesia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Ini bisa dilihat pada saat zaman kependudukan Belanda, yang dimana pada masa itu ada dua sistem yang berlaku, sistem hukum dan sistem ekonomi. Sistem ekonomi yang diterapkan yaitu sistem ekonomi modern yang mengarah pada perkebunan dan pabrik, sedangkan sistem ekonomi tradisional (bertani) diperuntukkan bagi rakyat pribumi. Jika di masa global ini pemerintah lebih memperhatikan pembangunan nasional tanpa melihat adanya pergeseran atau bahkan lunturnya nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Indonesia, maka semua modernisasi atau keberhasilan pemerintah dalam memajukan Indonesia akan sia-sia karena hilangnya budaya bangsa.

Membahas masalah sosial budaya yang jika ditelisik tidak akan ada habisnya, begitu juga dengan isu strategis yang ada di Indonesia. Penilaian terhadap isu perlu memerhatikan jangka waktu, berapa lama isu tersebut berpengaruh, bagaimana pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam penyelesaiannya, pengaruh isu tersebut bagi Indonesia dan skala prioritas isu. Lunturnya nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat memang tidak begitu terlihat seperti isu-isu mengenai ketenagakerjaan, isu lingkungan, pendidikan atau korupsi, dengan begitu, masyarakat pun ikut tidak memprioritaskan isu budaya ini demi sebuah pembangunan daerah.

Landasan menjadi seorang Indonesia

Indonesia adalah bangsa yang plural, multikultural, multietnik, dan multiagama. Maka tugas kitalah menjaga kerukunan, perdamaian, dan menghindari terjadinya konflik. Asas tunggal yang menjadi landasan Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945. Menjadi Indonesia sering dikaitkan dengan nasionalisme. Nasionalisme merupakan paham yang percaya bahwa perbedaan di sebuah negara harus dipersatukan. Dengan adanya landasan dasar negara, semua aspek dapat dipersatukan menjadi Indonesia yang utuh.

Menurut Sri Sultan, masyarakat Indonesia masa kini, sesungguhnya bukan lagi konstruksi pluralisme tradisional suku, agama, atau ras, tetapi konstruksi neo-pluralisme. Artinya, struktur kemajemukan masyarakat saat ini tidak lagi bersifat massa, tetapi makin spesifik, terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil atau neo-tribal. Dengan demikian peta pluralisme menjadi demikian kompleks. sehingga membawa kepentingan yang semakin terfragmentasi. Demikian pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat peluncuran bukunya Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, Sabtu (15/3) di Auditorium Pascasarjana UGM (http://www.ugm.ac.id/).
Politik identitas dalam format identitas suku, daerah, ras, dan agama juga mudah menguat. Bahkan tuntutan pemekaran daerah pun sering dipicu oleh menguatnya politik identitas. Suatu daerah, kota, provinsi, atau bahkan kepulauan pun akan menuntut identitasnya dalam suatu negara jika negara tersebut mengarah pada pembentukan sebuah logosentrisme yang mengasumsikan suatu eksklusifisme dan inklusifisme.
Jika hal tersebut tidak berhasil didayagunakan menjadi modal sosial, maka kemajemukan bangsa bukan saja tidak akan memberikan kontribusi apapun bagi pembentukan ke-indonesiaan, tetapi juga dapat menjadi ancaman bagi stabilitas dan eksistensi Republik. Atau, merujuk pada pendapat Benedict Anderson, yaitu bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang baru terbayang, imagined. Akibatnya, seperti yang tampil saat ini, bangsa Indonesia terkotak-kotak sehingga identitas ke-indonesiaannya pun rapuh.
Rapuhnya ke-indonesiaan kita, di mata dunia pun kita juga dianggap sebagai negara yang baru terbayang. Banyak dari warga negara asing yang tidak mengetahui keberadaan kita. Satu-satunya “kotak” dari negara kita yang dipandang dunia hanyalah Pulau Bali yang eksotis. Banyak dari mahasiswa Indonesia yang belajar diluar negeri harus menjelaskan apa itu Indonesia, dimana, dan seperti apa.
Saat Indonesia sedang membangun demokrasi untuk menguatkan identitas ke-indonesiaan, warganya dikecewakan oleh sikap kalangan elite politik. Adanya korupsi yang sudah mengakar, sehingga menjadi sebuah “budaya negara” yang sulit untuk membenahi sistem tersebut.
Disebutkan dalam UUD 1945, pemerintah negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Negara Indonesia itu perwujudan dari kedaulatan rakyat.
“Semestinya para elite kita bekerja untuk mewujudkan semua tujuan bernegara itu. Kesampingkan berbagai kepentingan pribadi, termasuk pertai politik, demi memperjuangkan tujuan berbangsa yang lebih besar,” hal itu disampaikan sejarawan dan mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Abdullah, di Jakarta ( http://www.kompas.com/).
Kembali ke nasionalisme, agar negara yang penuh dengan keragaman, masyarakatnya bisa hidup dalam persatuan dan keharmonisan. Maka harus ada media pemersatu, contohnya di Amerika Serikat. Negara para imigran dipersatukan lewat olahraga. Saat dunia punya Football, Amerika menciptakan American Football. Football tidak hanya mengakomodir imigran-imigran lain yang tidak merasa sebudaya dengan football-nya inggris. Juga Basketball yang merupakan produk asli Amerika. Lewat olahraga, semua imigran berpartisipasi lewat “produk bersama” sehingga persatuan itu muncul. Itu hanya segelintir contoh di Amerika.
Di Indonesia sendiri wujud Nasionalisme-nya seperti apa?
Jawabannya: PANCASILA. Dasar negara, tempat di mana semua suku, agama, keragaman, berpijak. Dasar yang mempersatukan perbedaan kita. Setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khasnya masing-masing, tapi kita tetap satu, bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia.
Jika tidak ada yang membayangkan akan ada negara bernama Indonesia maka negara itu tidak akan ada. Faktanya, sekarang negara itu sudah kita bayangkan dan menjadi negara yang kita tinggali saat ini. Mengesampingkan kepentingan pribadi dan benar-benar menjadi seorang Indonesia dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, apakah sebuah tugas yang berat bagi warga negaranya?
Daftar Pustaka
http://nasional.kompas.com/read/2011/08/15/23104817/Nasionalisme.Perlu.Keteladanan.Elite (diunduh pada tanggal 22 September, pukul 11:13)
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1251 (diunduh pada tanggal 23 September 2011, pukul 12:26)

Kebudayaan Indonesia Berdasarkan UUD 1945 pasal 32

Secara umum, kebudayaan itu merupakan sikap timbal balik dengan sesama, alam, dan lingkungan hidup yang merupakan hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya baik secara fisik ataupun materil. Kebudayaan sering dikaitkan dengan ilmu lain seperti hubungan kebudayaan dengan kepribadian (psikologi), antropologi, politik, agama, mekanisme stabilisasi, sistem, teknologi, dan masih banyak lagi kaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Saat ini, Indonesia sedang menggapai langkahnya untuk menjadi negara maju yang salah satunya dengan pemerataan pembangunan nasional yang akan adanya bangunan dan hutan-hutan ditebang merupakan salah satu cara untuk menghilangkan nilai-nilai suatu kebudayaan dalam kehidupan masyarakat tertentu. Jika dalam undang-undang sudah diatur bahwa pemerintah harus memajukan kebudayaan nasional Indonesia, maka kemajuan seperti apa yang akan dilakukan?

Menurut UUD 1945 Pasal 32 yaitu :

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dari pasal tersebut kita sudah dapat mengetahui bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan keanekaragaman yang kompleks.

Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut disebut masyarakat multikultural. Multikultural yang bisa diartikan sebagai keanekaragaman atau perbedaan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Masyarakat yang hidup di daerah tertentu dengan memiliki kebudayaan dan ciri khas yang mampu membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Dari adanya kebudayaan dan ciri khas itulah muncul berbagai macam bahasa daerah yang dalam UU sebagai kekayaan budaya nasional.

Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/). Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme bermunculan, tapi melalui pendapat Lawrence Blum dapat disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Maka, setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat Indonesia, apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima dan dihormati oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, tapi multikulturalisme merupakan sebuah konsep asing bagi orang Indonesia sekarang ini. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mengharuskan untuk mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi contohnya seperti permasalahan politik, demokrasi, keadilan penegakkan hukum, kesempatan kerja, HAM, hak budaya komunitas, prinsip-prinsip etika, moral, dan masih banyak permasalahan lain yang berkaitan dengan usaha negara dalam memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya seperti yang tertera dalam dasar negara.

Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm diunduh pada tanggal 08 Oktober 2011 pukul 11:21.